Rame Ing Gawe Tanpa Pamrih (salah satu bukti nyata dalam kehidupan sehari-hari masih terikat kuat dengan GOTONG ROYONG) Desa Cikondang Kecamatan Cingambul Kabupaten Majalengka
Minggu, 24 Februari 2013
nyoblos poe tadi (PILGUB JABAR)
Minggu 24 Februari 2013 adalah hari pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat.
Malamnya yaitu malam Minggunya saya berbincang dengan beberapa teman, saya mencoba menggiring perbincangan itu ke arah Pilgub yang akan di laksanakan esok hari (Minggu), dari ke 4 temen hanya ada 1 temen yang merespon dengan agak serius sedangkan yang lainya merespon dengan candaan. Sepertinya mereka tidak bergairah memperbincangkan masalah Pilgub ini bahkan dari 4 temen itu ada yang gak tau berapa banyak calon yang akan bertarung esok (hari ini, minggu).
Dari perbincangan singkat yang penuh candaan ada satu kalimat yang hampir senada yaitu “Milih kieu, teu milih kieu” translate —> “memilih seperti ini, gak memilihpun seperti ini”. Satu kalimat yang menyiratkan satu bentuk keprustrasian dan kepasrahan. Artinya di mata mereka dan saya belajar dari yang sudah sudah nyoblos gak nyoblos tidak membawa dampak perubahan yang signifikan.
Hari Minggunya saat Pilgub di laksanakan di tempat saya, saya tidak melihat antusiasme warga melaksanakan Pilgub ini. Saat saya dan istri pergi ke TPS tak sekalipun berpapasan dengan warga yang sudah melaksanakan pencoblosan, pun di TPS saat kami tiba jangankan antrian warga, yang duduk di bangku tunggupun tidak ada. Waktu itu jam menunjukan pukul 11.00. Entah belum pada datang atau bagaimana ? Saya penasaran bertanya ke salah seorang temen yang kebetulan jadi petugas di TPS itu. Jawabanya iya emang sepi, tapi entah mungkin siangan.
Setelah mencoblos saya kembali ke tempat kerja. Baru juga beberapa saat datanglah seorang temen yang beda kampung, saya masih penasaran bertanya lagi soal Pilgub jawabnya sama aja, sepi katanya. Malah lebih parah keluarga dia sendiri yang sudah punya hak pilih ada 4 orang tapi yang menggunakan hak pilihnya cuma dia seorang.
Yang jadi pertanyaan “mengapa warga jadi banyak yang acuh soal Pilgub ?”. padahal kan ini untuk menentukan siapa pemimpin (gubernur Jabar) lima tahun ke depan.
Ah… Semoga saja Gubernur terpilih nanti mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik dari sekarang yang bisa di rasakan oleh semua lapisan warganya, baik itu si kaya ataupun si miskin…
Tamba Sare Sore-Sore
Ku : Akang Kadus Kiki Tea
puisi ieu di tulis ku jalma letik nu mindeng teu ngarti,, mindeng tumanya tapi teu daek ngarti,, sok rajeun nyaliksi diri di wanci jemplingna petiung ,,ngaca ka mangsa nu geus kaliwat ngeunteung diri jeung ka deungeun,, ngotektak neangan luang tina daluang,, hayang ngarti…
puisi ieu di tulis ku jalma letik nu mindeng teu ngarti,, mindeng tumanya tapi teu daek ngarti,, sok rajeun nyaliksi diri di wanci jemplingna petiung ,,ngaca ka mangsa nu geus kaliwat ngeunteung diri jeung ka deungeun,, ngotektak neangan luang tina daluang,, hayang ngarti…
Anjeun
Layung geus nyingkur nyusup tukangeun gunung
Ninggalkeun sumingratna warna nu endah
Ras ka gagas ka mangsa lawas
Kacipta ngabayang waktu urang munggaran tepang
Di teras buruan hareupeun imah saksina
Anjeun make kaos bodas nyacas
Payus nutupan kulit nu beresih bodas
Rok biru di pasieup gambar kembang-kembang bodas
Ngatung luhureun tuur mungkus sampean lenjang
Hiliwirna angin gunung nyingraykeun rambut nu panjang
Duh endahna mangsa harita
Mangsa katukang nu karandapan
Sempal guyon gogonjakan
Pinuh kabungah kebek ku kanyaah
Sabara taun kaliwat enggeus
Teu kungsi kuring carita
Kajadian harita jadi katineung nu nyata
Nepi ka kiwari ka patri jero ati
Ngahias lambaran ka gagas
Katineung harita ayena geus jadi nyata
Anjeun nu di picinta geus jadi milik kaula
Teu bisa di gambarkeun bungahna rasa
Nalika jadi ka bale nyungcung
Katineung harita sarua jeung katineung ayeuna
Katineung harita sing jadi terus katineung
Na waktu nu teu aya tungtung
SEKILAS TENTANG PILKADA
Pilkada Langsung adalah singkatan dari Pemilihan Kepala Daerah Langsung dan untuk peringkasan penyebutan sering disebut Pilkada saja (YPBHI-NSN dan Friedrich Nauman Stiftung. 2005). Namun, orang sudah faham bahwa yang dimaksud Pilkada adalah Pilkada Langsung. Berdasarkan PP No. 6 tahun 2004 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, pada pasal 1 ayat (1) dirumuskan bahwa Pilkada adalah “Sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah”. Lanjutan dari Pasal tersebut, pada ayat (2) disebutkan bahwa “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Gubernur dan Wakil Gubernur untuk provinsi, Bupati dan Wakil Bupati untuk kabupaten, dan Walikota dan Wakil Walikota untuk kota”. Berdasarkan dua ayat PP di atas, maka Pilkada yang akan digelar di Kabupaten Sintang pada Mei 2010 nanti adalah untuk memilih Bupati dan Wakil Bupati periode 2010 s.d 2015 sebagaimana pernah dilakukan pada tahun 2005 yang lalu.
Pilkada pertama di seluruh Indonesia dilaksanakan pada tahun 2005 yang meliputi sebanyak 210 wilayah pemilihan, sedangkan pada tahun 2010 akan terdapat sebanyak 246 daerah pemilihan kabupaten kota dan 7 pemilihan Gubernur. Apakah Pilkada 2010 ini dapat mengulang sukses Pilkada 2005 yang lalu, masih menjadi pertanyaan besar. Meskipun pada beberapa daerah terdapat kegagalan dan cacad dalam pelaksanaan Pilkada, tetapi pelaksanaan Pilkada di Kabupaten Sintang pada tahun itu dinilai sukses dan telah melahirkan pasangan Bupati dan Wakil Bupati, yakni duet Drs. Milton Crosby, M,Si dan dr. Jarot Winarno, M.Med.PH. sebagai pasangan yang legitimate untuk jabatan Bupati dan Wakil Bupati Sintang Periode 2005 s.d 2010.
Makalah ini ingin mereview kembali pengalaman Pilkada tahun 2005 lalu dengan mengetengahkan 4 bagian bahasan, yakni (1) Pilkada sebagai wujud demokrasi di tingkat lokal, (2) Pilkada meninggalkan benih konflik (?), (3) Pemenang Pemilu Legislatif bukan otomatis Pemenang Pilkada. Bagian ini terbagi ke dalam dua sub bagian, yakni (a) Isu Kandidat, dan (b) Isu Program. Sebagai bagian terakhir adalah bagian (4) Penutup.
Tujuan penulisan ini adalah untuk melihat ke belakang sukses penyelenggaraan Pilkada di Kabupaten Sintang tahun 2005 dan bagaimana sukses tersebut dapat terulang dengan tanpa menimbulkan bibit konflik agar hasil pembangunan di Kabupaten Sintang sebagai wujud dari kinerja Bupati Terpilih periode 2005 s.d 2010 menambah secara akumulatif keberhasilan dan kemajuan pembangunan di Wilayah Kabupaten Sintang. Hasil Pilkada 2010, siapapun yang menang diharapkan dapat melanjutkan pekerjaan rumah dari Bupati sebelumnya dan melahirkan program yang dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas pembangunan di Kabupaten Sintang pada periode 2010 s.d 2015, terutama dalam mencapai Tujuan Pembangunan Millennium (Millennium Development Goal’s/MDG’s) yang memberi keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk mengabdikan dana otonomi bagi mewujudkan pembagunan berbasis pelayanan dan penguatan lokal (local societies).
Minggu, 17 Februari 2013
FOTO FOTO KEGIATAN SWADAYA (GOTONG ROYONG) MASYARAKAT DESA CIKONDANG
Kamis, 14 Februari 2013
PERTANGGUNGJAWABAN PEMERINTAHAN DESA
PERTANGGUNGJAWABAN
PEMERINTAHAN DESA
Oleh: Dodo Rukanda, M.Si., M.Pd.
Dalam Rangka Laporan
Pertanggungjawaban Pemerintahan Desa Cikondang Kecamatan Cingambul Kabupaten
Majalengka tahun 2012, sekaligus Perencanaan Pendapatan Belanja Desa Tahun 2013,
yang disampaikan dalam musyawarah BPD
(Minggu, 10 Pebruari 2013)
Pertanggungjawaban Pemerintahan Desa Pada Masa UU Nomor
32 Tahun 2004 juncto PP Nomor 72 Tahun 2005
Pada Pasal 15 ayat (1) PP Nomor 72 Tahun 2005
dikemukakan kewajiban kepala desa yaitu :
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila,
melaksanakan UUD Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan NKRI;
b. meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
c. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat;
d. melaksanakan kehidupan demokrasi;
e. melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang
bersih dan bebas kolusi, korupsi, dan nepotisme;
f. menjalin hubungan kerja dengan seluruh mitra
kerja pemerintahan desa;
g. menaati dan menegakkan seluruh peraturan
perundang-undangan;
h. menyelenggarakan administrasi pemerintahan desa
yang baik;
i. melaksanakan dan mempertanggungjawabkan
pengelolaan keuangan desa;
j. melaksanakan urusan yang menjadi kewenangan desa;
k. mendamaikan perselisihan masyarakat di desa;
l. mengembangan pendapatan masyarakat dan desa;
m. membina, mengayomi dan melestarikan nilai-nilai social budaya dan adat
istiadat;
n. memberdayakan masyarakat dan kelembagaan di desa, dan
o. mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup.
Selain kewajiban sebagaimana dikemukakan di atas, menurut Pasal 15 ayat
(2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) PP tersebut dikemukakan bahwa Kepala Desa
juga mempunyai kewajiban untuk:
1) memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa (LPPDes) kepada
bupati/walikota; yang disampaikan kepada bupati/walikota melalui camat satu
kali dalam satu tahun;
2) memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada BPD (LKPJ); satu
kali dalam satu tahun, dan disampaikan dalam musyawarah BPD;
3) menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa (IPPDes) kepada
masyarakat melalui selebaran yang ditempelkan pada papan pengumuman atau
diinformasikan secara lisan dalam berbagai pertemuan masyarakat desa, radio
komunikasi atau media lainnya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa Kepala Desa tidak
bertanggungjawab kepada Bupati/walikota. Dengan demikian, apabila ada Peraturan
Daerah (Perda) Kabupaten/Kota yang menyebutkan bahwa Kepala Desa
bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota, maka perda tersebut bertentangan
dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya, sehingga harus
dibatalkan.
Penjelasan di atas dapat disederhanakan dalam bentuk bagan sebagai berikut:
Gambar:
Model Pertanggungjawaban Pemerintahan Desa
Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 jo PP Nomor 72 Tahun 2005
Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan tugas, wewenang dan kewajiban serta
hak Kepala Desa, Kepala Desa pada dasarnya bertanggungjawab kepada rakyat
desa, yang prosedur pertanggungjawabannya diatur berdasarkan Pasal 15 ayat (2)
PP No. 72 Tahun 2005, bahwa Kepala Desa mempunyai kewajiban untuk memberikan
laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada Bupati/Walikota, memberikan
laporan keterangan pertanggungjawaban kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD),
serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada
masyarakat, namun tetap memberikan peluang kepada masyarakat melalui BPD untuk
menanyakan dan/atau meminta keterangan lebih lanjut terhadap hal-hal yang
bertalian dengan pertanggungjawaban dimaksud.
Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) PP No. 72 Tahun 2005 tersebut, kemudian
diterbitkanlah Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 35 Tahun 2007 tentang Pedoman
Umum Tata Cara Pelaporan dan Pertanggungjawaban Penyelenggaraan Pemerintahan
Desa.
"Kepala Desa pada dasarnya
bertanggung jawab kepada rakyat Desa yang dalam tata cara dan prosedur
pertanggung jawabannya disampaikan kepada Bupati atau Walikota melalui Camat.
Kepada Badan Permusyawaratan Desa, Kepala Desa wajib memberikan keterangan
laporan pertanggungjawabannya dan kepada rakyat menyampaikan informasi
pokok-pokok pertanggung jawabannya..-..."
JENIS LAPORAN
Laporan Pertanggungjawaban, meliputi:
1. Laporan Kepala Desa.
a. LPPD Kepala Desa
LPPD Akhir Tahun Anggaran;
b. LKPJ Kepala Desa
LKPJ Akhir Tahun Anggaran
c. Penginformasian LPPD kepada masyarakat
2. Laporan Keuangan BPD.
Laporan Pertanggungjawaban BPD adalah Laporan Administrasi Keuangan BPD
kepada Kepala Desa.
Laporan Administrasi Keuangan BPD kepada Kepala Desa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 adalah pertanggungjawaban tentang penggunaan keuangan desa kepada
Kepala Desa selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan Desa.
INFORMASI LAPORAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA
§ Kepala Desa wajib menginformasikan LPPD kepada masyarakat desanya;
§ Penginformasian LPPD dimaksud disampaikan secara tertulis melalui
pengumuman resmi atau media setempat, dan secara lisan langsung kepada masyarakat
dalam berbagai pertemuan masyarakat desa;
§ Penginformasian LPPD dilakukan sekurang-kurangnya 1(satu) kali dalam
setahun;
§ Penginformasian LPPD sekurang-kurangnya memuat, antara lain:
a. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b. Pelaksanaan Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa dan Keputusan Kepala
Desa;
c. Penyusunan, Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban APBDesa;
d. Hal-hal lain yang dianggap perlu.
PELAPORAN ADMINISTRASI KEUANGAN BADAN PERMUSYAWARATAN
DESA
§ BPD juga wajib menyampaikan laporan administrasi keuangan BPD yang
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa kepada Kepala Desa selaku
Pemegang Kekuasan Pengelolaan Keuangan Desa;
§ Laporan administrasi keuangan BPD dimaksud disampaikan secara tertulis.
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
§ Dalam rangka pembinaan dan pengawasan
Pemerintah dan Pemerintah Daerah
melakukan fasilitasi kepada Pemerintah Desa dan BPD berupa pemberian pedoman,
bimbingan, arahan, supervisi, dan pelatihan.
§ Bupati dapat melimpahkan kewenangan pembinaan pemerintahan Desa kepada
Camat.
§ Dalam hal Kepala Desa tidak menyampaikan laporan, Bupati memberikan teguran
tertulis dan tindakan administrasi lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
§ Dalam hal kepala desa tidak menyampaikan laporan sebagaimana dalam pasal 3,
Badan Permusya-waratan Desa dapat memberikan teguran tertulis kepada Kepala
Desa.
§ Apabila Kepala Desa berhenti sebelum akhir masa jabatan, LPPD dan LKPJ
Kepala Desa disampaikan oleh pejabat pengganti atau pelaksana tugas Kepala
Desa;
§ Materi LPPD dan LKPJ Kepala Desa
disampaikan oleh pejabat pengganti atau pelaksana tugas Kepala Desa
berdasarkan laporan dalam memori serah terima jabatan Kepala Desa yang diganti
ditambah dengan sisa waktu sampai dengan akhir tahun anggaran yang
bersangkutan.
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang ditinjau dari pendekatan normatif
ini, dimaksudkan untuk lebih mengarahkan dan mengoptimalkan penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, terutama tercapainya Tertib Administrasi Pemerintahan Desa.
Keberhasilan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat serta tercapainya pelayanan
prima di tingkat perdesaan terutama di Desa Cikondang Kecamatan Cingambul
Kabupaten Majalengka, akan sangat tergantung kepada para pelaku pemerintahan
desa sebagai masyarakat terpilih yang mempunyai kelebihan kemampuan untuk
mengendalikan roda pemerintahan. Oleh karena itu diperlukan kesungguhan dalam
penerapan pedoman dan peraturan perundang-undangan yang dibentuk dalam rangka
penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Tidak lupa kami sampaikan terima kasih yang mendalam atas dukungan dan
dorongan dari semua pihak yang telah mendukung program-program pemerintahan
dalam pembangunan Desa Cikondang ini.
Saya menyadari sepenuhnya bahwa Laporan Pertanggungjawaban ini masih belum
memuat semua apa yang yang dilaksanakan oleh Pemerintahan Desa, baik fisik
maupun non-fisik di bidang pembangunan desa.
Selasa, 12 Februari 2013
Aset Wisata Cikondang (Curug Cibali)
Sabtu, 02 Februari 2013
KEGIATAN MAULID NABI DI MESJID AL MUTTAQIN DESA CIKONDANG
KEGIATAN MAULID NABI DI MUSHOLA BAITUL SYUKUR DUSUN KONDANGASIH II
Memperingati Maulid Nabi dalam rangka Mengingat Kelahiran Nabi Muhammad SAW
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Peringatan Maulid Nabi dilakukan dalam rangka mengingat kelahiran, keistimewaan, mukjizat, sirah, dan mengetahui akhlak Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita pun diperintahkan untuk melakukan hal-hal tadi dalam rangka menjadikan meneladani beliau. Karena Allah Ta’ala berfirman,
Inilah di antara syubhat yang dilontarkan oleh sebagian orang. Dan syubhat (kerancuan) dalam perayaan maulid ini diambil oleh ulama yang Pro Maulid semacam Muhammad bin ‘Alwi Al Maliki dalam kitab beliau Adz Dzakho-ir Al Muhammadiyyah hal. 269.
Apakah alasan di atas dapat melegalkan peringatan maulid?
Berikut beberapa sanggahan untuk menyanggah kerancuan di atas:
Pertama:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah memerintahkan umatnya untuk memperingati maaulid dan tidak pernah memerintahkan mengingat kelahiran, karakter istimewa, mukjizat, sirah dan akhlak mulia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus melalui peringatan maulid. Bahkan hal ini merupakan bid’ah yang diada-adakan sepeninggal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bid’ah maulid mulai muncul sekitar 600 tahun sepeninggal beliau. Padahal mengenai perkara bid’ah telah diperingatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri,
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
Hadits-hadits semacam ini menunjukkan tercelanya peringatan maulid dan perayaan tersebut merupakan perayaan yang mardud (tertolak).
Kedua:
Mengenal kelahiran, karakteristik, mukjizat, sirah serta akhlak mulia beliau bukan hanya ketika maulid saja. Mengenal beliau dan hal-hal tadi bukan hanya pada waktu tertentu dan dalam kumpulan tertentu, akan tetapi setiap saat, sepanjang waktu. Tidak seperti orang-orang yang pro maulid yang memperingatinya hanya ketika malam maulid, malam-malam yang lain tidak demikian. Amalan semacam ini didasari pada tradisi semata yang diambil dari nenek moyang sebelum mereka,
Sebelumnya yang menghidupkan maulid nabi adalah Sulthon Irbil. Mulai dari masa beliau, maulid nabi diperingati setiap tahunnya. Padahal perayaan ini tidaklah diizinkan dan diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Perayaan ini masuk dalam keumuman ayat,
Ketiga:
Meneladani Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan ittiba’ (mengikuti ajaran) beliau dan berpegang dengan sunnah beliau serta mendahulukan petunjuk beliau dari yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman,
Demikianlah yang diajarkan dalam Islam. Dalam suatu perayaan pun harus mengikuti petunjuk Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena merayakan maulid adalah suatu ibadah. Bagaimana mungkin tidak dikatakan sebagai suatu ibadah? Wong, orang yang rayakan saja ingin mengingat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasti ingin cari pahala. Ini jelas ibadah, bukan perkara mubah biasa. Sedangkan dalam ibadah mesti ikhlas kepada Allah dan mengikuti syariat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika tidak memenuhi dua kriteria ini, amalan tersebut tertolak.
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa (1: 333) berkata,
Keempat:
Memperingati maulid bukanlah ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan pula amalan para sahabat yang mulia, bukan pula amalan tabi’in, dan bukan pula amalan para imam yang mendapat petunjuk setelah mereka. Perayaan maulid hanyalah perayaan yang berasal dari Sulthon Irbil (pelopor maulid nabi pertama kali). Jadi, siapa saja yang memperingati maulid, dia hanyalah mengikuti ajaran Sulthon Irbil baik atas dasar ia tahu ataukah tidak, bukan mengikuti ajaran Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kelima:
Meneladani dan mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beramal dan dalam keadaan berniat yang benar, haruslah dengan mengikuti ajaran beliau dan para sahabatnya. Begitu pula ia memperingatkan dari setiap bid’ah, di antaranya adalah bid’ah maulid.
Peringatan Maulid Nabi dilakukan dalam rangka mengingat kelahiran, keistimewaan, mukjizat, sirah, dan mengetahui akhlak Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita pun diperintahkan untuk melakukan hal-hal tadi dalam rangka menjadikan meneladani beliau. Karena Allah Ta’ala berfirman,
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو
اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. Al Ahzab: 21).Inilah di antara syubhat yang dilontarkan oleh sebagian orang. Dan syubhat (kerancuan) dalam perayaan maulid ini diambil oleh ulama yang Pro Maulid semacam Muhammad bin ‘Alwi Al Maliki dalam kitab beliau Adz Dzakho-ir Al Muhammadiyyah hal. 269.
Apakah alasan di atas dapat melegalkan peringatan maulid?
Berikut beberapa sanggahan untuk menyanggah kerancuan di atas:
Pertama:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah memerintahkan umatnya untuk memperingati maaulid dan tidak pernah memerintahkan mengingat kelahiran, karakter istimewa, mukjizat, sirah dan akhlak mulia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus melalui peringatan maulid. Bahkan hal ini merupakan bid’ah yang diada-adakan sepeninggal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bid’ah maulid mulai muncul sekitar 600 tahun sepeninggal beliau. Padahal mengenai perkara bid’ah telah diperingatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)Hadits-hadits semacam ini menunjukkan tercelanya peringatan maulid dan perayaan tersebut merupakan perayaan yang mardud (tertolak).
Kedua:
Mengenal kelahiran, karakteristik, mukjizat, sirah serta akhlak mulia beliau bukan hanya ketika maulid saja. Mengenal beliau dan hal-hal tadi bukan hanya pada waktu tertentu dan dalam kumpulan tertentu, akan tetapi setiap saat, sepanjang waktu. Tidak seperti orang-orang yang pro maulid yang memperingatinya hanya ketika malam maulid, malam-malam yang lain tidak demikian. Amalan semacam ini didasari pada tradisi semata yang diambil dari nenek moyang sebelum mereka,
بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ
“Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak
kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang
mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka" (QS. Az Zukhruf: 22).Sebelumnya yang menghidupkan maulid nabi adalah Sulthon Irbil. Mulai dari masa beliau, maulid nabi diperingati setiap tahunnya. Padahal perayaan ini tidaklah diizinkan dan diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Perayaan ini masuk dalam keumuman ayat,
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura: 21).Ketiga:
Meneladani Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan ittiba’ (mengikuti ajaran) beliau dan berpegang dengan sunnah beliau serta mendahulukan petunjuk beliau dari yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ
إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31).
وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا
“Dan jika kamu taat kepada Rasul, niscaya kamu mendapat petunjuk.” (QS. An Nur: 54)
وَمَنْ
يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا
الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah
memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai,
sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. An Nisa’: 13).Demikianlah yang diajarkan dalam Islam. Dalam suatu perayaan pun harus mengikuti petunjuk Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena merayakan maulid adalah suatu ibadah. Bagaimana mungkin tidak dikatakan sebagai suatu ibadah? Wong, orang yang rayakan saja ingin mengingat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasti ingin cari pahala. Ini jelas ibadah, bukan perkara mubah biasa. Sedangkan dalam ibadah mesti ikhlas kepada Allah dan mengikuti syariat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika tidak memenuhi dua kriteria ini, amalan tersebut tertolak.
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa (1: 333) berkata,
وَبِالْجُمْلَةِ
فَمَعَنَا أَصْلَانِ عَظِيمَانِ أَحَدُهُمَا : أَنْ لَا نَعْبُدَ إلَّا
اللَّهَ . وَالثَّانِي : أَنْ لَا نَعْبُدَهُ إلَّا بِمَا شَرَعَ لَا
نَعْبُدُهُ بِعِبَادَةِ مُبْتَدَعَةٍ . وَهَذَانِ الْأَصْلَانِ هُمَا
تَحْقِيقُ " شَهَادَةِ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا
رَسُولُ اللَّهِ
“Ini adalah dua landasan agung dalam agama ini yaitu: tidak beribadah
selain pada Allah semata dan tidak beribadah kecuali dengan ibadah yang
disyari’atkan, bukan dengan ibadah yang berbau bid’ah. Inilah
konsekuensi atau perwujudan dari syahadat laa ilaha illallah (tidak ada
sesembahan yang berhak disembah selain Allah) dan syahadat (pernyataan)
bahwa Muhammad adalah utusan Allah”.Keempat:
Memperingati maulid bukanlah ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan pula amalan para sahabat yang mulia, bukan pula amalan tabi’in, dan bukan pula amalan para imam yang mendapat petunjuk setelah mereka. Perayaan maulid hanyalah perayaan yang berasal dari Sulthon Irbil (pelopor maulid nabi pertama kali). Jadi, siapa saja yang memperingati maulid, dia hanyalah mengikuti ajaran Sulthon Irbil baik atas dasar ia tahu ataukah tidak, bukan mengikuti ajaran Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kelima:
Meneladani dan mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beramal dan dalam keadaan berniat yang benar, haruslah dengan mengikuti ajaran beliau dan para sahabatnya. Begitu pula ia memperingatkan dari setiap bid’ah, di antaranya adalah bid’ah maulid.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
GOTONG ROYONG TELAH MENDARAH DAGING DI KEHIDUPAN MASYARAKAT DESA CIKONDANG
Gotong Royong Ketua RT Membenahi Jalan Longsor (jalan Walahar Gintung)
Gotong Royong Dalam Kehidupan Masyarakat
Gotong-royong sebagai solidaritas sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, terutama mereka yang membentuk komunitas-komunitas, karena dalam komunitas seperti ini akan terlihat dengan jelas. Gotong-royong terjadi dalam beberapa aktivitas kehidupan, seperti gotong-royong dalam bentuk kerjabakti, dilakukan untuk kepentingan bersama; gotong-royong dalam bentuk tolong menolong pada saat melakukan pesta pernikahan, atau khitanan, beberapa hari sebelum pesta akan dilakukan terjadi sumbangan dari kenalan, tetangga ataupun kerabat datang membantu dalam bentuk bahan makanan, uang, ataupun tenaga,kemudian bantuan ini harus dikembalikan minimal dengan nilai yang sama.Bahkan gotong-royong dapat pula terjadi pada saat adanya musibah ataupun kematian salah seorang warga komunitas, hal ini tidak dapat disebut kepentingan bersama ataupun kepentingan peribadi tetapi rasa kemanusiaan yang muncul di antara warga, karena musibah datangnya tidak diperhitungkan ataupun diketahui, sehingga warga yang mendapat musibah tersebut memerlukan bantuan dari warga lainnya. Gotong-royong dapat terjadi di lahan pertanian uyang berada di wilayah pedesaan berupa curahan tenaga pada saat membuka lahan sampai mengerjakan lahan pertanian, dan diakhiri di saat panen, bantuan dari orang lain seperti ini harus dikembalikan sesuai dengan tenaga yang orang lain berikan, hal ini terus menerus terjadi yang akhirnya menjadi ciri masyarakat, terutama yang memiliki mata pencaharian agraris. Khusus bantuan di lahan pertanian dicontohkan pada petani lahan kering, terutama pada sistem huma, karena pada sistem pertanian huma sangat jelas sekali pola gotong-royong yang mereka lakukan yaitu azas timbal-balik.
Manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat hidup sendiri, melainkan memerlukan orang lain dalam berbagai hal, seperti bergaul, bekerja, tolong menolong, kerja bakti, keamanan, dan lain-lain. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Kayam1) sebagai berikut,
Sejak manusia bergabung dalam suatu masyarakat, agaknya, keselarasan menjadi suatu kebutuhan. Betapa tidak ! Pada waktu pengalaman mengajari manusia hidup bermasyarakat jauh lebih menguntungkan, efisien dan efektif daripada hidup soliter, sendirian, pada waktu itu pula manusia belajar untuk menenggang dan bersikap toleran terhadap yang lain. Pada waktu dia tahu bahwa untuk menjaga kelangsungan hidupnya dia membutuhkan bekerja bersama orang yang kemudian mengikat diri dalam suatu masyarakat, manusia juga belajar memahami suatu pola kerjasama yang terdapat dalam hubungan antara anggota masyarakat tersebut.
Kerjasama yang dilakukan secara bersama-sama disebut sebagai gotong-royong, akhirnya menjadi strategi dalam pola hidup bersama yang saling meringankan beban masing-masing pekerjaan. Adanya kerjasama semacam ini merupakan suatu bukti adanya keselarasan hidup antar sesama bagi komunitas, terutama yang masih menghormati dan menjalankan nilai-nilai kehidupan, yang biasanya dilakukan oleh komunitas perdesaan atau komunitas tradisional. Tetapi tidak menuntup kemungkinan bahwa komunitas masyarakat yang berada di perkotaan juga dalam beberapa hal tertentu memerlukan semangat gotong-royong.
Gotong-royong sebagai bentuk solidaritas sosial, terbentuk karena adanya bantuan dari pihak lain, untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan kelompok, sehingga di dalamnya terdapat sikap loyal dari setiap warga sebagai satu kesatuan. Dalam hal ini, Parson (1951 : 97 – 98) mengemukakan,
Loyalty is, as it were, the uninstitutonalized precusor of solidarity, it is the “spilling over” of motivation to conform with the interests or expectations of alter beyond the boundaries of any institutionalized or agreed obligation. Collectivity-orientation on the other hand converts this “propensity” into an institutionalized obligation of the role-expectation. Then whether the actor “feel like it” or not, he is obligated to act in certain ways and risks the application of negative sanctions if he does not.
Kehidupan warga suatu komunitas yang terintegrasi dapat dilihat dari adanya solidaritas di antara mereka melalui tolong-menolong tanpa keharusan untuk membalasnya, seperti adanya musibah atau membantu warga lain yang dalam kesusahan. Tetapi tolong menolong seperti ini menjadi suatu kewajiban, untuk saling membalas terutama dalam hal pekerjaan yang berhubungan dengan pertanian atau di saat salah satu warga melakukan perayaan. Begitu pula, apabila terdapat pekerjaan yang hasilnya untuk kepentingan bersama, maka diperlukan pengerahan tenaga dari setiap warga melalui kerjabakti.
Kegiatan gotong-royong dilakukan warga komunitas, baik yang berada di perdesaan maupun di perkotaan, yang penting mereka dalam kehidupannya senantiasa memerlukan orang lain. Di perkotaan nilai gotong-royong ini sangat berbeda dengan gotong-royong di pedesaan, karena di perkotaan segala sesuatu sudah banyak dipengaruhi oleh materi dan sistem upah, sehingga akan diperhitungkan untung-ruginya dalam melakukan gotong-royong, sedangkan di perdesaan gotong-royong belum banyak dipengaruhi oleh materi dan sistem upah sehingga kegiatan gotong-royong diperlukan sebagai suatu solidaritas antar sesama dalam satu kesatuan wilayah atau kekerabatan. Dalam hal ini Koentjaraningrat (1984 : 7) mengemukakan kegiatan gotong-royong di pedesaan sebagai berikut,
1) Dalam hal kematian, sakit, atau kecelakaan, di mana keluarga yang sedang menderita itu mendapat pertolongan berupa tenaga dan benda dari tetangga-tetangganya dan orang lain sedesa;
2) Dalam hal pekerjaan sekitar rumah tangga, misalnya memperbaiki atap rumah, mengganti dinding rumah, membersihkan rumah dari hama tikus, menggali sumur, dsb., untuk mana pemilik rumah dapat minta bantuan tetangga-tetangganya yang dekat dengan memberi bantuan makanan;
3) Dalam hal pesta-pesta, misalnya pada waktu mengawinkan anaknya, bantuan tidak hanya dapat diminta dari kaum kerabatnya, tetapi juga dari tetangga-tetangganya, untuk mempersiapkan dan penyelenggaraan pestanya;
4) Dalam mengerjakan pekerjaan yang berguna untuk kepentingan umum dalam masyarakat desa, seperti memperbaiki jalan, jembatan, bendungan irigasi, bangunan umum dsb., untuk mana penduduk desa dapat tergerak untuk bekerja bakti atas perintah dari kepala desa.
Gotong-royong semacam itu sulit dibedakan antara gotong-royong sebagai bentuk tolong menolong dan gotong royong sebagai kerjabakti. Walaupun demikian, yang penting dalam hal ini bahwa pekerjaan atau kesulitan yang dialami oleh seseorang tidak dapat dilakukan sendiri melainkan perlu adanya bantuan tenaga dari orang lain.
Gotong-royong dapat dikatakan sebagai ciri dari bangsa Indonesia terutama mereka yang tinggal di pedesaan yang berlaku secara turun temurun, sehingga membentuk perilaku sosial yang nyata kemudian membentuk tata nilai kehidupan sosial. Adanya nilai tersebut menyebabkan gotong-royong selalu terbina dalam kehidupan komunitas sebagai suatu warisan budaya yang patut dilestarikan. Hubungannya gotong-royong sebagai nilai budaya, maka Bintarto (1980 : 24) mengemukakan,
Nilai itu dalam sistem budaya orang Indonesia mengandung empat konsep, ialah : (1) Manusia itu tidak sendiri di dunia ini tetapi dilingkungi oleh komunitinya, masyarakatnya dan alam semesta sekitarnya. Di dalam sistem makrokosmos tersebut ia merasakan dirinya hanya sebagai unsur kecil saja, yang ikut terbawa oleh proses peredaran alam semesta yang maha besar itu. (2)
Dengan demikian, manusia pada hakekatnya tergantung dalam segala aspek kehidupannya kepada sesamanya. (3) Karena itu, ia harus selalu berusaha untuk sedapat mungkin memelihara hubungan baik dengan sesamanya terdorong oleh jiwa sama rata sama rasa, dan (4) selalu berusaha untuk sedapat mungkin bersifat konform, berbuat sama dengan sesamanya dalam komuniti, terdorong oleh jiwa sama tinggi sama rendah.
Adanya sistem nilai tersebut membuat gotong-royong senantiasa dipertahankan dan diperlukan dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga gotong-royong akan selalu ada dalam berbagai bentuk yang disesuaikan dengan kondisi budaya komunitas yang bersangkutan berada.
Gotong-royong sebagai bentuk integrasi, banyak dipengaruhi oleh rasa kebersamaan antar warga komunitas yang dilakukan secara sukarela tanpa adanya jaminan berupa upah atau pembayaran dalam bentuk lainnya, sehingga gotong-royong ini tidak selamanya perlu dibentuk kepanitiaan secara resmi melainkan cukup adanya pemberitahuan pada warga komunitas mengenai kegiatan dan waktu pelaksanaannya, kemudian pekerjaan dilaksanakan setelah selesai bubar dengan sendirinya. Adapun keuntungan adanya gotong-royong ini yaitu pekerjaan menjadi mudah dan ringan dibandingkan apabila dilakukan secara perorangan; memperkuat dan mempererat hubungan antar warga komunitas di mana mereka berada bahkan dengan kerabatnya yang telah bertempat tinggal di tempat lain, dan; menyatukan seluruh warga komunitas yang terlibat di dalamnya. Dengan demikian, gotong-royong dapat dilakukan untuk meringankan pekerjaan di lahan pertanian, meringankan pekerjaan di dalam acara yang berhubungan dengan pesta yang dilakukan salah satu warga komunitas, ataupun bahu membahu dalam membuat dan menyediakan kebutuhan bersama.
Tolong Menolong dan Kerjabakti
Gotong-royong dalam bentuk tolong menolong dan dalam bentuk kerjabakti keduanya berbeda dalam hal kepentingan, bahwa tolong-menolong dilakukan untuk kepentingan perseorangan dalam hal kesusahan ataupun memerlukan curahan tenaga dalam menyelesaikan pekerjaannya, sehingga yang bersangkutan mendapat keuntungan dengan adanya bantuan sukarela. Sedangkan kerja-bakti dilakukan untuk kepentingan bersama, sehingga keuntungan untuk merasakannya didapat secara bersama-sama, baik bagi warga bersangkutan maupun orang lain walaupun tidak turut serta dalam kerjabakti.
Gotong-royong dalam bentuk tolong menolong dilakukan secara sukarela untuk membantu orang lain, tetapi ada suatu kewajiban sosial yang memaksa secara moral bagi seseorang yang telah mendapat pertolongan tersebut untuk kembali menolong orang yang pernah menolongnya, sehingga saling tolong menolong ini menjadi meluas tanpa melihat orang yang pernah menolongnya atau tidak. Dengan demikian, bahwa tolong menolong ini merupakan suatu usaha untuk menanam budi baik terhadap orang lain tanpa adanya imbalan jasa atau kompensasi secara langsung atas pekerjaan itu yang bersifat kebendaan, begitupula yang ditolong akan merasa berhutang budi terhadap orang yang pernah menolongnya, sehingga terjadilah keseimbangan berupa bantuan tenaga yang diperoleh bila suatu saat akan melakukan pekerjaan yang sama. Dalam hal ini Tashadi dkk. (1982 : 78) mengemukakan,
Konpensasi atau balas jasa dalam hal tolong menolong itu tidak diwujudkan dengan sejumlah nilai uang, tetapi jasa yang telah diberikan itu akan lebih menjamin hubungan kekeluargaan yang baik di antara mereka yang bersangkutan atau berhubungan karena adanya suatu peristiwa. Apabila kompensasi atau jasa itu diwujudkan dengan sejumlah nilai uang, maka jarak sosial akan terjadi yang mengakibatkan nilai-nilai batin menjadi renggang yang akhirnya mendesak nilai itu sendiri. Demikian peristiwa ini banyak kita lihat dewasa ini di berbagai tempat di daerah pedesaan.
Dengan demikian, bahwa tolong menolong merupakan gotong-royong yang memiliki azas timbal balik secara moral antar warga komunitas yang berpedoman pada kesamaan wilayah
dan kekeluargaan yang erat.
Bersamaan dengan tumbuhnya penduduk, maka kegiatan tolong menolong mulai memunculkan adanya pamrih, walaupun tidak secara langsung dalam bentuk imbalan nyata, tetapi imbalan yang sama seperti telah diberikan, sebagaimana Kayam2) kemukakan,
... bahwa kebersamaan atau kolektivitas dari masyarakat pertanian sederhana akan segera berubah begitu manusia pertanian menyadari hal milik pribadi. Begitu dia membuat klaim terhadap sebidang lahan, ... agaknya, dia menjadi sadar bahwa permintaan tolong kepada tetangganya untuk menggarap lahan akan harus memperhatikan tolong menolong yang lain. Apabila sebelumnya dia kerja bersama-sama, beramai-ramai dengan tetangganya, "tanpa suatu pamrih", sekarang dia masih bekerja bersama-sama tetapi dengan "pamrih". Pamrih adalah harapan terhadap suatu imbalan. ... apakah itu imbalan berupa ganti pertolongan pada waktu dia nanti memerlukannya. ...
Tolong menolong dengan pamrih atau ganti pertolongan di masa datang sebagai tanggung jawab moral untuk ganti menolong.
Kegiatan kerjabakti sebagai gotong-royong dilakukan secara serentak untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang hasilnya dimanfaatkan bersama. Kadangkala kerjabakti semacam ini menjadi pengertiannya menjadi tidak jelas dengan adanya kerjabakti secara sukarela dan secara paksaan, seperti yang di kemukakan Koentjaraningrat (dalam Sajogyo dan Sajogyo, 1992 : 38),
Mengenai gotong-royong kerjabakti kita juga harus membedakan antara (1) kerjasama untuk proyek-proyek yang timbul dari inisiatif atau swadaya warga para warga desa sendiri dan (2) kerjasama untuk proyek-proyek yang dipaksakan dari atas.
Pengerahan tenaga yang dilakukan dalam kerjasama pertama merupakan kebutuhan komunitas itu sendiri, umumnya didasarkan atas rapat antar warga dalam menentukan jenis dan bentuk kebutuhan, kemudian hasil rapat diputuskan bahwa pekerjaan dilakukan oleh warga komunitas secara bersama-sama dalam bentuk gotong-royong, sedangkan pengerahan tenaga pada bagian kedua berhubungan dengan penyelesaian suatu proyek, yang diperlukan tenaga kerja untuk melakukan gotong-royong. Adapun rencana dan pelaksanaan proyek biasanya berdasarkan kebijakan pemerintah daerah setempat dalam membangun suatu fasilitas umum dengan bantuan tenaga warga komunitas. Proyek semacam ini misalnya pembuatan jalan, maka pembukaan jalan akan dilakukan warga komunitas yang dilalui oleh jalan tersebut, atau pembuatan bendungan di mana tanah urugan dikerjakan oleh warga yang diminta bantuan tenaganya, dan pekerjaan semacam ini banyak juga dilakukan dengan tujuan untuk hal-hal tertentu, sehingga biaya pembangunan proyek dapat ditekan, namun akibatnya terjadi pemaksaan secara halus demi pembangunan.
Dengan demikian, bahwa gotong-royong yang terdapat dalam kehidupan terdiri dari tolong menolong antar warga dengan tanggung jawab moral atas dasar azas timbal balik; gotong-royong dengan jalan pengerahan tenaga untuk membangun fasilitas kehidupan atas dasar inisiatif warga setempat dengan jalan swadaya; dan gotong royong dalam membangun fasilitas kehidupan atas dasar inisiatif dari yang berwenang, dalam hal ini pemerintah setempat yang memerlukan pengerahan tenaga dari warga setempat. Dari ketiga macam gotong-royong tersebut merupakan bentuk pekerjaan yang dilakukan bersama tanpa adanya imbalan dalam bentuk uang atau materi secara jelas.
Gotong-royong di Lingkungan Tempat Tinggal
Warga Komunitas suatu saat akan memiliki kegiatan yang memerlukan bantuan dari warga lainnya, yaitu penyelenggaraan khitanan, perkawinan atau dalam pembuatan rumah mereka. seperti yang dikemukakan Kayam3) sebagai berikut,
... Seorang petani ... yang mengajak tetangga-tetangganya beramai-ramai membantunya mendirikan rumah sudah harus tahu bahwa dia harus menyediakan makanan dan minum bagi
yang membantunya, dan pada gilirannya pada satu waktu nanti harus bersedia ikut bergotong-royong mendirikan rumah atau pekerjaan beramai-ramai.
Bantuan yang dilakukan terhadap warga yang melakukan kegiatan ini dapat berupa bahan makanan, uang, ataupun tenaga. Mereka yang datang membantu terlebih dahulu diberitahu waktu perayaan atau pembuatan rumah dilaksanakan, sehingga akan mempersiapkan segala sesuatunya. bagi yang pernah dibantu minimal akan membantu sesuai dengan bantuan yang telah diterimanya, tetapi yang bagi yang belum mendapat bantuan maka akan membantu sesuai dengan kemampuan atau kebutuhan yang kelak harus diterima dari warga yang menyelenggarakan perayaan tersebut. Tolong menolong semacam ini dapat dianggap sebagai tabungan di masa datang, kalaupun balasannya suatu saat tidak diterima langsung karena sesuatu hal seperti tidak akan melaksanakan pembuatan rumah atau perayaan lagi di mana anak-anaknya telah menikah semua atau telah dikhitan, maka balasan bantuan melainkan diberikan keturunannya yaitu cucu atau kerabatnya ataupun pada orang lain asalkan balasan tersebut atas nama yang pernah membantunya. Adapun bantuan tenaga diberikan apabila yang bersangkutan tidak mampu untuk memberikan barang kebutuhan ataupun uang, maka bantuan tenaga dipersiapkan sesuai dengan kebutuhan, karena setiap perayaan atau pembuatan rumah yang diselenggarakan akan memerlukan banyak tenaga kerja.
Saling tolong menolong seperti demikian tidak terbatas pada warga sekitarnya, melainkan dapat juga dari warga lain sebagai kenalan dekat yang berada jauh dari tempat tinggal yang akan menyelenggarakan perayaan atau membuat rumah. Bantuan ini dapat juga datang dari kerabat yang memang sengaja datang setelah adanya pemberitahuan walaupun berada di tempat atau daerah lain yang berjauhan. Adanya ikatan tolong menolong seperti ini akan meringankan beban yang harus dipikul saat pelaksanaan perayaan atau pembuatan rumah.
Gotong-royong berupa saling tolong semacam ini tidak perlu di saat senang saja melainkan di saat mendapat kesusahan seperti adanya kematian ataupun adanya musibah yang menimpa seperti adanya kebakaran, tanah longsor, banjir dan musibah lainnya yang disebabkan oleh alam. Bantuan akan berdatangan dari warga lain yang tidak terkena bencana, bahkan dari orang lain yang jauh sekalipun dan tidak dikenal ada yang turut menolong. Hanya saja pertolongan yang diberikan tidak perlu adanya rasa menyimpan jasa atau budi yang harus dibalas, melainkan suatu solidaritas antar sesama sebagai rasa kemanusian, begitu pula bagi yang ditolong tidak perlu memiliki rasa hutang budi dan memiliki kewajiban moral untuk membalasnya. Pertolongan yang diberikan pada warga atau orang yang mengalami musibah merupakan kewajiban yang harus dipikul bersama dan harus dipelihara sepanjang masa dan tanpa adanya permintaan dari warga yang mengalami musibah tersebut. Dengan demikian, bahwa tolong menolong dalam menghadapi bencana dianggap kewajiban sebagai umat manusia untuk menolong antar tanpa adanya rasa pamrih dari orang yang pernah ditolongnya.
Gotong-royong dalam pertanian
Pengolahan lahan pertanian secara berpindah-pindah sulit dilaksanakan apabila dilakukan sendiri oleh pemiliknya, karena untuk mengerjakan lahan pertanian dari awal pembukaan lahan sampai pada panen memerlukan banyak curahan tenaga. Sebagaimana Kayam4) mengemukakan,
Prinsip mendasar dari suatu masyarakat pertanian pada akhirnya adalah penggarapan lahan sebagai sumber dan kelangsungan kehidupan dan penghidupan. Penggarapan lahan itu berkembang dalam waktu yang tidak terlalu lama menjadi penggarapan yang tidak dapat lagi dikerjakan sendirian bahkan juga pada waktu anak-anaknya sudah dapat membantu turun ke lahan. Kebersamaan akhirnya tidak dapat dihindarkan lagi sebagai prinsip kehidupan bermasyarakat dari manusia yang berkembang menggarap lahan. Ia membutuhkan kawan-kawan untuk membagi pengalaman, pengamatan dan penghayatan tentang berbagai gejala alam akhirnya membagi pula tentang kesimpulan semua itu.
Kesimpulan bersama itu dapat berkembang menjadi sistem nilai hidup bermasyarakat atau sistem kepercayaan ...
Tolong menolong di lahan pertanian akan terjadi apabila jumlah lahan yang diolah memiliki luas yang dianggap dapat memenuhi kebutuhan keluarganya minimal sampai pada musim panen berikutnya. Lahan yang relatif luas tidak dapat diolah dengann cepat oleh pemiliknya, perlu adanya bantuan dari orang lain. Keadaan ini tentu dialami pula oleh pemilik lahan lain, akhirnya akan terjadi saling tolong menolong dengan azas timbal balik.
Adanya gotong-royong atau tolong menolong dalam bidang pertanian, Tashadi dkk (1982 : 52) mengemukakan,
Dalam setiap kegiatan gotong-royong tolong menolong atau sambatan ini, setiap orang dapat mengikutinya. Bahkan kalau hal ini dianggap sebagai suatu kewajiban sosial bagi warga masyarakat itu semuanya akan terlibat. Akan tetapi dalam bidang mata pencaharian, khususnya di daerah pedesaan adalah bidang pertanian, maka kegiatan ini hanya melibatkan beberapa orang sebagai pesertanya, yang jelas mereka yang terlibat itu adalah petani atau penduduk di desa yang mempunyai pekerjaan sebagai petani, naik ia petani yang memiliki tanah pertanian maupun ia sebagai buruh tani.
pengelolaan pertanaman padi ... memerlukan jumlah tenaga banyak dalam waktu tertentu yang singkat, sehingga anggota petani sendiri tak mampu menyelesaikannya, (2) setiap tani kita praktis mengusahakan tanaman padi sehingga dalam pembalasan jasa nampak sungguh keseimbangannya dan (3) perasaan senasib antara petani, menyebabkan mereka tak ingin bahwa temannya sampai mengalami kesulitan dalam pengelolaan padi, suatu jenis tanaman pokok yang merupakan urat nadi kehidupan.
Adanya tolong menolong di antara petani merupakan suatu keharusan, sehingga kehidupan petani padi terutama yang berada di pedesaan bagaikan suatu keluarga luas di mana tolong menolong tersebut tidak diukur oleh uang atau benda lainnya sebagai pembayaran.
Tolong menolong di huma tidak selamanya dilakukan oleh mereka yang berada di tempat yang sama, karena bantuan yang datang tidak sesuai dengan yang dibutuhkan, sehingga memerlukan tenaga tambahan. Tenaga tambahan ini biasanya merupakan tenaga yang harus dibayar sesuai dengan perjanjian, maka mereka ini biasa disebut buruh tani. Pekerjaan yang dilakukan buruh tani merupakan pekerjaan di saat diperlukan, setelah pekerjaan selesai maka selesai pula tenaga yang diperlukan. Karena itu saat tidak ada pekerjaan di huma, buruh tani ini bersedia melakukan pekerjaan apapun seperti memperbaiki dan membuat rumah, mengangkut barang, membuat kerajinan tangan, mengangkut hasil bumi ke tengkulak, dan lain-lain.
Selain dari buruh tani adapula tenaga kerja sukarela yang berbeda dengan tolong menolong, tenaga kerja sukarela ini tidak perlu adanya timbal balik dari orang yang dibantunya. Pekerjaan yang dilakukan tergantung pada keinginan dari tenaga kerja sukarela dan waktunya tidak ditentukan sesuai dengan keinginan pemilik huma. Sebagai rasa terima kasih telah mendapat bantuan, maka pemilik huma memiliki kewajiban moral dengan menyediakan makanan di saat istirahat ataupun setelah pekerjaan selesai dilakukan.
Gotong-royong sudah tidak dapat dipungkiri lagi sebagai ciri bangsa Indonesia yang turun temurun, sehingga keberadaannya harus dipertahankan. Pola seperti ini merupakan bentuk nyata dari solidaritas mekanik yang terdapat dalam kehidupan masyarakat, sehingga setiap warga yang terlibat di dalamnya memiliki hak untuk dibantu dan berkewajiban untuk membantu, dengan kata lain di dalamnya terdapat azas timbal balik.
Gotong-royong akan memudar apabila rasa kebersamaan mulai menurun dan setiap pekerjaan tidak lagi terdapat bantuan sukarela, bahkan telah dinilai dengan materi atau uang. Sehingga jasa selalu diperhitungkan dalam bentuk keuntungan materi, yang akibatnya rasa kebersamaan makin lama akan semakin menipis dan penghargaan hanya dapat dinilai bagi
mereka yang memiliki dan membayar dengan uang. Tampaknya untuk kondisi yang serba materi seperti ini jangan sampai terjadi, karena nilai-nilai kebersamaan yang selama ini dijunjung tinggi menjadi tidak ada artinya lagi.
Gotong-royong memiliki nilai yang luhur, harus tetap ada, dan terus menjadi bagian dari kehidupan yang menjunjung tinggi kemanusiaan, karena di dalam kegiatan gotong-royong, setiap pekerjaan dilakukan secara bersama-sama tanpa memandang kedudukan seseorang tetapi memandang keterlibatan dalam suatu proses pekerjaan sampai sesuai dengan yang diharapkan.
Manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat hidup sendiri, melainkan memerlukan orang lain dalam berbagai hal, seperti bergaul, bekerja, tolong menolong, kerja bakti, keamanan, dan lain-lain. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Kayam1) sebagai berikut,
Sejak manusia bergabung dalam suatu masyarakat, agaknya, keselarasan menjadi suatu kebutuhan. Betapa tidak ! Pada waktu pengalaman mengajari manusia hidup bermasyarakat jauh lebih menguntungkan, efisien dan efektif daripada hidup soliter, sendirian, pada waktu itu pula manusia belajar untuk menenggang dan bersikap toleran terhadap yang lain. Pada waktu dia tahu bahwa untuk menjaga kelangsungan hidupnya dia membutuhkan bekerja bersama orang yang kemudian mengikat diri dalam suatu masyarakat, manusia juga belajar memahami suatu pola kerjasama yang terdapat dalam hubungan antara anggota masyarakat tersebut.
Kerjasama yang dilakukan secara bersama-sama disebut sebagai gotong-royong, akhirnya menjadi strategi dalam pola hidup bersama yang saling meringankan beban masing-masing pekerjaan. Adanya kerjasama semacam ini merupakan suatu bukti adanya keselarasan hidup antar sesama bagi komunitas, terutama yang masih menghormati dan menjalankan nilai-nilai kehidupan, yang biasanya dilakukan oleh komunitas perdesaan atau komunitas tradisional. Tetapi tidak menuntup kemungkinan bahwa komunitas masyarakat yang berada di perkotaan juga dalam beberapa hal tertentu memerlukan semangat gotong-royong.
Gotong-royong sebagai bentuk solidaritas sosial, terbentuk karena adanya bantuan dari pihak lain, untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan kelompok, sehingga di dalamnya terdapat sikap loyal dari setiap warga sebagai satu kesatuan. Dalam hal ini, Parson (1951 : 97 – 98) mengemukakan,
Loyalty is, as it were, the uninstitutonalized precusor of solidarity, it is the “spilling over” of motivation to conform with the interests or expectations of alter beyond the boundaries of any institutionalized or agreed obligation. Collectivity-orientation on the other hand converts this “propensity” into an institutionalized obligation of the role-expectation. Then whether the actor “feel like it” or not, he is obligated to act in certain ways and risks the application of negative sanctions if he does not.
Kehidupan warga suatu komunitas yang terintegrasi dapat dilihat dari adanya solidaritas di antara mereka melalui tolong-menolong tanpa keharusan untuk membalasnya, seperti adanya musibah atau membantu warga lain yang dalam kesusahan. Tetapi tolong menolong seperti ini menjadi suatu kewajiban, untuk saling membalas terutama dalam hal pekerjaan yang berhubungan dengan pertanian atau di saat salah satu warga melakukan perayaan. Begitu pula, apabila terdapat pekerjaan yang hasilnya untuk kepentingan bersama, maka diperlukan pengerahan tenaga dari setiap warga melalui kerjabakti.
Kegiatan gotong-royong dilakukan warga komunitas, baik yang berada di perdesaan maupun di perkotaan, yang penting mereka dalam kehidupannya senantiasa memerlukan orang lain. Di perkotaan nilai gotong-royong ini sangat berbeda dengan gotong-royong di pedesaan, karena di perkotaan segala sesuatu sudah banyak dipengaruhi oleh materi dan sistem upah, sehingga akan diperhitungkan untung-ruginya dalam melakukan gotong-royong, sedangkan di perdesaan gotong-royong belum banyak dipengaruhi oleh materi dan sistem upah sehingga kegiatan gotong-royong diperlukan sebagai suatu solidaritas antar sesama dalam satu kesatuan wilayah atau kekerabatan. Dalam hal ini Koentjaraningrat (1984 : 7) mengemukakan kegiatan gotong-royong di pedesaan sebagai berikut,
1) Dalam hal kematian, sakit, atau kecelakaan, di mana keluarga yang sedang menderita itu mendapat pertolongan berupa tenaga dan benda dari tetangga-tetangganya dan orang lain sedesa;
2) Dalam hal pekerjaan sekitar rumah tangga, misalnya memperbaiki atap rumah, mengganti dinding rumah, membersihkan rumah dari hama tikus, menggali sumur, dsb., untuk mana pemilik rumah dapat minta bantuan tetangga-tetangganya yang dekat dengan memberi bantuan makanan;
3) Dalam hal pesta-pesta, misalnya pada waktu mengawinkan anaknya, bantuan tidak hanya dapat diminta dari kaum kerabatnya, tetapi juga dari tetangga-tetangganya, untuk mempersiapkan dan penyelenggaraan pestanya;
4) Dalam mengerjakan pekerjaan yang berguna untuk kepentingan umum dalam masyarakat desa, seperti memperbaiki jalan, jembatan, bendungan irigasi, bangunan umum dsb., untuk mana penduduk desa dapat tergerak untuk bekerja bakti atas perintah dari kepala desa.
Gotong-royong semacam itu sulit dibedakan antara gotong-royong sebagai bentuk tolong menolong dan gotong royong sebagai kerjabakti. Walaupun demikian, yang penting dalam hal ini bahwa pekerjaan atau kesulitan yang dialami oleh seseorang tidak dapat dilakukan sendiri melainkan perlu adanya bantuan tenaga dari orang lain.
Gotong-royong dapat dikatakan sebagai ciri dari bangsa Indonesia terutama mereka yang tinggal di pedesaan yang berlaku secara turun temurun, sehingga membentuk perilaku sosial yang nyata kemudian membentuk tata nilai kehidupan sosial. Adanya nilai tersebut menyebabkan gotong-royong selalu terbina dalam kehidupan komunitas sebagai suatu warisan budaya yang patut dilestarikan. Hubungannya gotong-royong sebagai nilai budaya, maka Bintarto (1980 : 24) mengemukakan,
Nilai itu dalam sistem budaya orang Indonesia mengandung empat konsep, ialah : (1) Manusia itu tidak sendiri di dunia ini tetapi dilingkungi oleh komunitinya, masyarakatnya dan alam semesta sekitarnya. Di dalam sistem makrokosmos tersebut ia merasakan dirinya hanya sebagai unsur kecil saja, yang ikut terbawa oleh proses peredaran alam semesta yang maha besar itu. (2)
Dengan demikian, manusia pada hakekatnya tergantung dalam segala aspek kehidupannya kepada sesamanya. (3) Karena itu, ia harus selalu berusaha untuk sedapat mungkin memelihara hubungan baik dengan sesamanya terdorong oleh jiwa sama rata sama rasa, dan (4) selalu berusaha untuk sedapat mungkin bersifat konform, berbuat sama dengan sesamanya dalam komuniti, terdorong oleh jiwa sama tinggi sama rendah.
Adanya sistem nilai tersebut membuat gotong-royong senantiasa dipertahankan dan diperlukan dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga gotong-royong akan selalu ada dalam berbagai bentuk yang disesuaikan dengan kondisi budaya komunitas yang bersangkutan berada.
Gotong-royong sebagai bentuk integrasi, banyak dipengaruhi oleh rasa kebersamaan antar warga komunitas yang dilakukan secara sukarela tanpa adanya jaminan berupa upah atau pembayaran dalam bentuk lainnya, sehingga gotong-royong ini tidak selamanya perlu dibentuk kepanitiaan secara resmi melainkan cukup adanya pemberitahuan pada warga komunitas mengenai kegiatan dan waktu pelaksanaannya, kemudian pekerjaan dilaksanakan setelah selesai bubar dengan sendirinya. Adapun keuntungan adanya gotong-royong ini yaitu pekerjaan menjadi mudah dan ringan dibandingkan apabila dilakukan secara perorangan; memperkuat dan mempererat hubungan antar warga komunitas di mana mereka berada bahkan dengan kerabatnya yang telah bertempat tinggal di tempat lain, dan; menyatukan seluruh warga komunitas yang terlibat di dalamnya. Dengan demikian, gotong-royong dapat dilakukan untuk meringankan pekerjaan di lahan pertanian, meringankan pekerjaan di dalam acara yang berhubungan dengan pesta yang dilakukan salah satu warga komunitas, ataupun bahu membahu dalam membuat dan menyediakan kebutuhan bersama.
Tolong Menolong dan Kerjabakti
Gotong-royong dalam bentuk tolong menolong dan dalam bentuk kerjabakti keduanya berbeda dalam hal kepentingan, bahwa tolong-menolong dilakukan untuk kepentingan perseorangan dalam hal kesusahan ataupun memerlukan curahan tenaga dalam menyelesaikan pekerjaannya, sehingga yang bersangkutan mendapat keuntungan dengan adanya bantuan sukarela. Sedangkan kerja-bakti dilakukan untuk kepentingan bersama, sehingga keuntungan untuk merasakannya didapat secara bersama-sama, baik bagi warga bersangkutan maupun orang lain walaupun tidak turut serta dalam kerjabakti.
Gotong-royong dalam bentuk tolong menolong dilakukan secara sukarela untuk membantu orang lain, tetapi ada suatu kewajiban sosial yang memaksa secara moral bagi seseorang yang telah mendapat pertolongan tersebut untuk kembali menolong orang yang pernah menolongnya, sehingga saling tolong menolong ini menjadi meluas tanpa melihat orang yang pernah menolongnya atau tidak. Dengan demikian, bahwa tolong menolong ini merupakan suatu usaha untuk menanam budi baik terhadap orang lain tanpa adanya imbalan jasa atau kompensasi secara langsung atas pekerjaan itu yang bersifat kebendaan, begitupula yang ditolong akan merasa berhutang budi terhadap orang yang pernah menolongnya, sehingga terjadilah keseimbangan berupa bantuan tenaga yang diperoleh bila suatu saat akan melakukan pekerjaan yang sama. Dalam hal ini Tashadi dkk. (1982 : 78) mengemukakan,
Konpensasi atau balas jasa dalam hal tolong menolong itu tidak diwujudkan dengan sejumlah nilai uang, tetapi jasa yang telah diberikan itu akan lebih menjamin hubungan kekeluargaan yang baik di antara mereka yang bersangkutan atau berhubungan karena adanya suatu peristiwa. Apabila kompensasi atau jasa itu diwujudkan dengan sejumlah nilai uang, maka jarak sosial akan terjadi yang mengakibatkan nilai-nilai batin menjadi renggang yang akhirnya mendesak nilai itu sendiri. Demikian peristiwa ini banyak kita lihat dewasa ini di berbagai tempat di daerah pedesaan.
Dengan demikian, bahwa tolong menolong merupakan gotong-royong yang memiliki azas timbal balik secara moral antar warga komunitas yang berpedoman pada kesamaan wilayah
dan kekeluargaan yang erat.
Bersamaan dengan tumbuhnya penduduk, maka kegiatan tolong menolong mulai memunculkan adanya pamrih, walaupun tidak secara langsung dalam bentuk imbalan nyata, tetapi imbalan yang sama seperti telah diberikan, sebagaimana Kayam2) kemukakan,
... bahwa kebersamaan atau kolektivitas dari masyarakat pertanian sederhana akan segera berubah begitu manusia pertanian menyadari hal milik pribadi. Begitu dia membuat klaim terhadap sebidang lahan, ... agaknya, dia menjadi sadar bahwa permintaan tolong kepada tetangganya untuk menggarap lahan akan harus memperhatikan tolong menolong yang lain. Apabila sebelumnya dia kerja bersama-sama, beramai-ramai dengan tetangganya, "tanpa suatu pamrih", sekarang dia masih bekerja bersama-sama tetapi dengan "pamrih". Pamrih adalah harapan terhadap suatu imbalan. ... apakah itu imbalan berupa ganti pertolongan pada waktu dia nanti memerlukannya. ...
Tolong menolong dengan pamrih atau ganti pertolongan di masa datang sebagai tanggung jawab moral untuk ganti menolong.
Kegiatan kerjabakti sebagai gotong-royong dilakukan secara serentak untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang hasilnya dimanfaatkan bersama. Kadangkala kerjabakti semacam ini menjadi pengertiannya menjadi tidak jelas dengan adanya kerjabakti secara sukarela dan secara paksaan, seperti yang di kemukakan Koentjaraningrat (dalam Sajogyo dan Sajogyo, 1992 : 38),
Mengenai gotong-royong kerjabakti kita juga harus membedakan antara (1) kerjasama untuk proyek-proyek yang timbul dari inisiatif atau swadaya warga para warga desa sendiri dan (2) kerjasama untuk proyek-proyek yang dipaksakan dari atas.
Pengerahan tenaga yang dilakukan dalam kerjasama pertama merupakan kebutuhan komunitas itu sendiri, umumnya didasarkan atas rapat antar warga dalam menentukan jenis dan bentuk kebutuhan, kemudian hasil rapat diputuskan bahwa pekerjaan dilakukan oleh warga komunitas secara bersama-sama dalam bentuk gotong-royong, sedangkan pengerahan tenaga pada bagian kedua berhubungan dengan penyelesaian suatu proyek, yang diperlukan tenaga kerja untuk melakukan gotong-royong. Adapun rencana dan pelaksanaan proyek biasanya berdasarkan kebijakan pemerintah daerah setempat dalam membangun suatu fasilitas umum dengan bantuan tenaga warga komunitas. Proyek semacam ini misalnya pembuatan jalan, maka pembukaan jalan akan dilakukan warga komunitas yang dilalui oleh jalan tersebut, atau pembuatan bendungan di mana tanah urugan dikerjakan oleh warga yang diminta bantuan tenaganya, dan pekerjaan semacam ini banyak juga dilakukan dengan tujuan untuk hal-hal tertentu, sehingga biaya pembangunan proyek dapat ditekan, namun akibatnya terjadi pemaksaan secara halus demi pembangunan.
Dengan demikian, bahwa gotong-royong yang terdapat dalam kehidupan terdiri dari tolong menolong antar warga dengan tanggung jawab moral atas dasar azas timbal balik; gotong-royong dengan jalan pengerahan tenaga untuk membangun fasilitas kehidupan atas dasar inisiatif warga setempat dengan jalan swadaya; dan gotong royong dalam membangun fasilitas kehidupan atas dasar inisiatif dari yang berwenang, dalam hal ini pemerintah setempat yang memerlukan pengerahan tenaga dari warga setempat. Dari ketiga macam gotong-royong tersebut merupakan bentuk pekerjaan yang dilakukan bersama tanpa adanya imbalan dalam bentuk uang atau materi secara jelas.
Gotong-royong di Lingkungan Tempat Tinggal
Warga Komunitas suatu saat akan memiliki kegiatan yang memerlukan bantuan dari warga lainnya, yaitu penyelenggaraan khitanan, perkawinan atau dalam pembuatan rumah mereka. seperti yang dikemukakan Kayam3) sebagai berikut,
... Seorang petani ... yang mengajak tetangga-tetangganya beramai-ramai membantunya mendirikan rumah sudah harus tahu bahwa dia harus menyediakan makanan dan minum bagi
yang membantunya, dan pada gilirannya pada satu waktu nanti harus bersedia ikut bergotong-royong mendirikan rumah atau pekerjaan beramai-ramai.
Bantuan yang dilakukan terhadap warga yang melakukan kegiatan ini dapat berupa bahan makanan, uang, ataupun tenaga. Mereka yang datang membantu terlebih dahulu diberitahu waktu perayaan atau pembuatan rumah dilaksanakan, sehingga akan mempersiapkan segala sesuatunya. bagi yang pernah dibantu minimal akan membantu sesuai dengan bantuan yang telah diterimanya, tetapi yang bagi yang belum mendapat bantuan maka akan membantu sesuai dengan kemampuan atau kebutuhan yang kelak harus diterima dari warga yang menyelenggarakan perayaan tersebut. Tolong menolong semacam ini dapat dianggap sebagai tabungan di masa datang, kalaupun balasannya suatu saat tidak diterima langsung karena sesuatu hal seperti tidak akan melaksanakan pembuatan rumah atau perayaan lagi di mana anak-anaknya telah menikah semua atau telah dikhitan, maka balasan bantuan melainkan diberikan keturunannya yaitu cucu atau kerabatnya ataupun pada orang lain asalkan balasan tersebut atas nama yang pernah membantunya. Adapun bantuan tenaga diberikan apabila yang bersangkutan tidak mampu untuk memberikan barang kebutuhan ataupun uang, maka bantuan tenaga dipersiapkan sesuai dengan kebutuhan, karena setiap perayaan atau pembuatan rumah yang diselenggarakan akan memerlukan banyak tenaga kerja.
Saling tolong menolong seperti demikian tidak terbatas pada warga sekitarnya, melainkan dapat juga dari warga lain sebagai kenalan dekat yang berada jauh dari tempat tinggal yang akan menyelenggarakan perayaan atau membuat rumah. Bantuan ini dapat juga datang dari kerabat yang memang sengaja datang setelah adanya pemberitahuan walaupun berada di tempat atau daerah lain yang berjauhan. Adanya ikatan tolong menolong seperti ini akan meringankan beban yang harus dipikul saat pelaksanaan perayaan atau pembuatan rumah.
Gotong-royong berupa saling tolong semacam ini tidak perlu di saat senang saja melainkan di saat mendapat kesusahan seperti adanya kematian ataupun adanya musibah yang menimpa seperti adanya kebakaran, tanah longsor, banjir dan musibah lainnya yang disebabkan oleh alam. Bantuan akan berdatangan dari warga lain yang tidak terkena bencana, bahkan dari orang lain yang jauh sekalipun dan tidak dikenal ada yang turut menolong. Hanya saja pertolongan yang diberikan tidak perlu adanya rasa menyimpan jasa atau budi yang harus dibalas, melainkan suatu solidaritas antar sesama sebagai rasa kemanusian, begitu pula bagi yang ditolong tidak perlu memiliki rasa hutang budi dan memiliki kewajiban moral untuk membalasnya. Pertolongan yang diberikan pada warga atau orang yang mengalami musibah merupakan kewajiban yang harus dipikul bersama dan harus dipelihara sepanjang masa dan tanpa adanya permintaan dari warga yang mengalami musibah tersebut. Dengan demikian, bahwa tolong menolong dalam menghadapi bencana dianggap kewajiban sebagai umat manusia untuk menolong antar tanpa adanya rasa pamrih dari orang yang pernah ditolongnya.
Gotong-royong dalam pertanian
Pengolahan lahan pertanian secara berpindah-pindah sulit dilaksanakan apabila dilakukan sendiri oleh pemiliknya, karena untuk mengerjakan lahan pertanian dari awal pembukaan lahan sampai pada panen memerlukan banyak curahan tenaga. Sebagaimana Kayam4) mengemukakan,
Prinsip mendasar dari suatu masyarakat pertanian pada akhirnya adalah penggarapan lahan sebagai sumber dan kelangsungan kehidupan dan penghidupan. Penggarapan lahan itu berkembang dalam waktu yang tidak terlalu lama menjadi penggarapan yang tidak dapat lagi dikerjakan sendirian bahkan juga pada waktu anak-anaknya sudah dapat membantu turun ke lahan. Kebersamaan akhirnya tidak dapat dihindarkan lagi sebagai prinsip kehidupan bermasyarakat dari manusia yang berkembang menggarap lahan. Ia membutuhkan kawan-kawan untuk membagi pengalaman, pengamatan dan penghayatan tentang berbagai gejala alam akhirnya membagi pula tentang kesimpulan semua itu.
Kesimpulan bersama itu dapat berkembang menjadi sistem nilai hidup bermasyarakat atau sistem kepercayaan ...
Tolong menolong di lahan pertanian akan terjadi apabila jumlah lahan yang diolah memiliki luas yang dianggap dapat memenuhi kebutuhan keluarganya minimal sampai pada musim panen berikutnya. Lahan yang relatif luas tidak dapat diolah dengann cepat oleh pemiliknya, perlu adanya bantuan dari orang lain. Keadaan ini tentu dialami pula oleh pemilik lahan lain, akhirnya akan terjadi saling tolong menolong dengan azas timbal balik.
Adanya gotong-royong atau tolong menolong dalam bidang pertanian, Tashadi dkk (1982 : 52) mengemukakan,
Dalam setiap kegiatan gotong-royong tolong menolong atau sambatan ini, setiap orang dapat mengikutinya. Bahkan kalau hal ini dianggap sebagai suatu kewajiban sosial bagi warga masyarakat itu semuanya akan terlibat. Akan tetapi dalam bidang mata pencaharian, khususnya di daerah pedesaan adalah bidang pertanian, maka kegiatan ini hanya melibatkan beberapa orang sebagai pesertanya, yang jelas mereka yang terlibat itu adalah petani atau penduduk di desa yang mempunyai pekerjaan sebagai petani, naik ia petani yang memiliki tanah pertanian maupun ia sebagai buruh tani.
pengelolaan pertanaman padi ... memerlukan jumlah tenaga banyak dalam waktu tertentu yang singkat, sehingga anggota petani sendiri tak mampu menyelesaikannya, (2) setiap tani kita praktis mengusahakan tanaman padi sehingga dalam pembalasan jasa nampak sungguh keseimbangannya dan (3) perasaan senasib antara petani, menyebabkan mereka tak ingin bahwa temannya sampai mengalami kesulitan dalam pengelolaan padi, suatu jenis tanaman pokok yang merupakan urat nadi kehidupan.
Adanya tolong menolong di antara petani merupakan suatu keharusan, sehingga kehidupan petani padi terutama yang berada di pedesaan bagaikan suatu keluarga luas di mana tolong menolong tersebut tidak diukur oleh uang atau benda lainnya sebagai pembayaran.
Tolong menolong di huma tidak selamanya dilakukan oleh mereka yang berada di tempat yang sama, karena bantuan yang datang tidak sesuai dengan yang dibutuhkan, sehingga memerlukan tenaga tambahan. Tenaga tambahan ini biasanya merupakan tenaga yang harus dibayar sesuai dengan perjanjian, maka mereka ini biasa disebut buruh tani. Pekerjaan yang dilakukan buruh tani merupakan pekerjaan di saat diperlukan, setelah pekerjaan selesai maka selesai pula tenaga yang diperlukan. Karena itu saat tidak ada pekerjaan di huma, buruh tani ini bersedia melakukan pekerjaan apapun seperti memperbaiki dan membuat rumah, mengangkut barang, membuat kerajinan tangan, mengangkut hasil bumi ke tengkulak, dan lain-lain.
Selain dari buruh tani adapula tenaga kerja sukarela yang berbeda dengan tolong menolong, tenaga kerja sukarela ini tidak perlu adanya timbal balik dari orang yang dibantunya. Pekerjaan yang dilakukan tergantung pada keinginan dari tenaga kerja sukarela dan waktunya tidak ditentukan sesuai dengan keinginan pemilik huma. Sebagai rasa terima kasih telah mendapat bantuan, maka pemilik huma memiliki kewajiban moral dengan menyediakan makanan di saat istirahat ataupun setelah pekerjaan selesai dilakukan.
Gotong-royong sudah tidak dapat dipungkiri lagi sebagai ciri bangsa Indonesia yang turun temurun, sehingga keberadaannya harus dipertahankan. Pola seperti ini merupakan bentuk nyata dari solidaritas mekanik yang terdapat dalam kehidupan masyarakat, sehingga setiap warga yang terlibat di dalamnya memiliki hak untuk dibantu dan berkewajiban untuk membantu, dengan kata lain di dalamnya terdapat azas timbal balik.
Gotong-royong akan memudar apabila rasa kebersamaan mulai menurun dan setiap pekerjaan tidak lagi terdapat bantuan sukarela, bahkan telah dinilai dengan materi atau uang. Sehingga jasa selalu diperhitungkan dalam bentuk keuntungan materi, yang akibatnya rasa kebersamaan makin lama akan semakin menipis dan penghargaan hanya dapat dinilai bagi
mereka yang memiliki dan membayar dengan uang. Tampaknya untuk kondisi yang serba materi seperti ini jangan sampai terjadi, karena nilai-nilai kebersamaan yang selama ini dijunjung tinggi menjadi tidak ada artinya lagi.
Gotong-royong memiliki nilai yang luhur, harus tetap ada, dan terus menjadi bagian dari kehidupan yang menjunjung tinggi kemanusiaan, karena di dalam kegiatan gotong-royong, setiap pekerjaan dilakukan secara bersama-sama tanpa memandang kedudukan seseorang tetapi memandang keterlibatan dalam suatu proses pekerjaan sampai sesuai dengan yang diharapkan.
Langganan:
Postingan (Atom)